SHALAT
Oleh: Nurcholish
Madjid
Nabi, dapatlah
dikatakan bahwa shalat
adalah kewajiban
peribadatan (formal)
yang paling penting
dalam sistem
keagamaan Islam.
Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat
(iqamat al-shalah, yakni
menjalankannya
dengan
penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman
adalah pertama-tama karena
shalatnya yang
saw. menegaskan,
"Yang pertama kali
akan diperhitungkan
tentang seorang
hamba pada hari
Kiamat ialah shalat: jika
baik,
maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah
seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal
segala perkara ialah al-Islam
(sikap pasrah kepada
Allah), tiang
penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah
perjuangan di jalan Allah." [3]
Karena demikian
banyaknya
penegasan-penegasan tentang
pentingnya shalat
yang kita dapatkan
dalam sumber-sumber
agama,
tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu
sebaik
mungkin. Berdasarkan
berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan
bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran
dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari
pati semua bahan ajaran
dan tujuan keagamaan.
Dalam
shalat
itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita,
yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada
Allah, Tuhan
Yang Maha
Esa, dan melalui
shalat itu kita
memperoleh
pendidikan
pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup
yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat
mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada
dirinya sendiri dan makna
instrumental, sebagai
sarana
pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
Makna
Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua
makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan dalam
keseluruhan shalat, baik
dalam unsur
bacaannya
maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih,
shalat
dirumuskan sebagai
"Ibadah kepada Allah dan
pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan
dan tindakan-tindakan tertentu
yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup
dengan taslim
(al-salam-u
'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan
tertib tertentu yang
diterapkan oleh agama
Islam."
[4]
Takbir
pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang
mengandung arti "takbir yang
mengharamkan",
yakni,
mengharamkan segala tindakan dan
tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa
menghadap
Tuhan.
Takbir pembukaan itu seakan suatu
pernyataan formal
seseorang membuka
hubungan diri dengan Tuhan
(habl-un min-a
'l-Lah),
dan mengharamkan atau memutuskan
diri dari semua
bentuk hubungan
dengan sesama manusia (habl-un
min al-nas -
"hablum
minannas"). Maka makna intrinsik
shalat diisyaratkan
dalam arti
simbolik takbir pembukaan itu,
yang melambangkan
hubungan
dengan Allah dan menghambakan diri
kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh
Allah
agar mereka
menghamba kepada-Nya, maka
wujud simbolik
terpenting penghambaan
itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir
tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya
sikap
menghadap
Allah.
Sikap
menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan
membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah),
yaitu bacaan
yang artinya,
"Sesungguhnya aku
menghadapkan wajahku kepada
Dia
yang telah menciptakan seluruh
langit dan bumi,
secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan
kebenaran) lagi
muslim
(pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik
dan Benar itu),
dan aku
tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu
dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku
dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya;
tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku
termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
Jadi, dalam
shalat itu seseorang diharapkan
hanya melakukan
hubungan vertikal
dengan Allah, dan
tidak diperkenankan
melakukan hubungan
horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan
terpaksa). Inilah ide
dasar dalam takbir
pembukaan sebagai
takbirat al-ihram. Karena
itu, dalam
literatur
kesufian berbahasa Jawa,
shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip"
(mati dalam hidup),
karena
memang kematian adalah
panutan hubungan horizontal
sesama
manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa
hubungan horizotal seperti
pembelaan,
perantaraan,
ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia
yang sedang melakukan
shalat hendaknya
menyadari sedalam-dalamnya akan
posisinya sebagai seorang
makhluk yang
sedang menghadap Khaliknya,
dengan penuh
keharuan, kesyahduan
dan kekhusyukan. Sedapat
mungkin ia
menghayati kehadirannya
di hadapan Sang
Maha Pencipta itu
sedemikian
rupa sehingga ia "seolah-olah
melihat Khaliknya";
dan
kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya
bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai
dengan
makna ihsan
seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8]
Karena merupakan peristiwa menghadap
Tuhan, shalat juga
sering
dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan
mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat
al-Muntaha.
Dengan ihsan
itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu
makna yang amat penting ibaratnya,
yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir
(omnipresent), sejalan
dengan
berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah)
itu beserta kamu
di manapun kamu berada, dan
Allah
Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa
shalat disyariatkan agar manusia
senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan
sedalam-dalamnya
akan
ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi
Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya
Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain
Aku. Maka
sembahlah olehmu
akan Daku, dan
tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!"
[10] Dan ingat kepada Allah yang dapat
berarti
kelestarian hubungan
yang dekat dengan
Allah adalah juga
berarti
menginsyafkan diri sendiri akan makna
terakhir hidup
di dunia
ini, yaitu bahwa
"Sesungguhnya kita berasal dari
Allah,
dan kita akan kembali kepada-Nya". [11]
Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa
adalah
"Sangkan-Paraning hurip"
(Asal dan Tujuan
hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning
dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
Keinsyafan terhadap
Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu
akan mendorong
seseorang untuk bertindak
dan berpekerti
sedemikian rupa
sehingga ia kelak akan kembali
kepada Allah
dengan
penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena
manusia mengetahui, baik
secara naluri maupun
logika,
bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak
benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang
harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju
Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang
lurus, yang
asal-muasalnya
ditunjukkan dan diterangi hati nurani
(nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang
merupakan
pusat
rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju
kebenaran (hanif).
Tetapi manusia
adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya
baik
namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya
tidak selalu
mampu menangkap
kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan
hidup sehari-hari. Sering kebenaran
itu tak nampak
padanya karena
terhalang oleh hawa
nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan
diri sendiri) yang subyektif dan
egois sebagai
akibat dikte
dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu
dalam usaha mencari
dan menemukan kebenaran
tersebut
mutlak diperlukan
ketulusan hati dan
keikhlasannya, yaitu
sikap
batin yang murni, yang sanggup
melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri
sendiri atau hawa
nafsu itu.
Begitulah,
maka ketika dalam shalat seseorang membaca
surat
al-Fatihah --yang
merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu--
kandungan makna surat itu yang terutama
harus dihayati
benar-benar ialah
permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan
yang lurus (al-shirath
al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului
dengan pernyataan bahwa seluruh
perbuatan
dirinya
akan dipertanggungjawabkan kepada Allah
(basmalah),
diteruskan dengan
pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai
pemelihara seluruh alam raya (hamdalah),
Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman)
dan Maha
Penyayang
(kepada kaum beriman di akhirat kelak
-al-Rahim).
Lalu dilanjutkan
dengan pengakuan terhadap
Allah sebagai
Penguasa
Hari Pembalasan, di mana setiap
orang akan berdiri
mutlak
sebagai
pribadi di hadapan-Nya
selaku Maha Hakim,
dikukuhkan
dengan pernyataan bahwa kita tidak
akan menghamba
kecuali kepada-Nya
saja semurni-murninya, dan
juga hanya
kepada-Nya
saja kita memohon
pertolongan karena menyadari
bahwa kita
sendiri tidak memiliki kemampuan
intrinsik untuk
menemukan
kebenaran.
Dalam peneguhan
hati bahwa kita
tidak menghambakan diri
kecuali kepada-Nya
serta dalam penegasan
bahwa hanya
kepada-Nya
kita mohon pertolongan tersebut, seperti
dikatakan
oleh Ibn
'Atha' Allah al-Sakandari, kita
berusaha
mengungkapkan
ketulusan kita dalam memohon bimbingan
ke arah
jalan yang
benar. Yaitu ketulusan berbentuk
pengakuan bahwa
kita
tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini
kepada sesuatu
apapun selain
Tuhan, dan ketulusan
berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi
akan kemampuan diri
menemukan kebenaran.
Dengan kata
lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu,
dalam ketulusan, kita harapkan
senantiasa kepada Allah
bahwa Dia
akan mengabulkan permohonan.kita,
namun pada saat
yang
sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan
tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh
kelemahan kita yang tidak dapat
melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap
cemas" itu
merupakan
indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan
pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu
kepada-Nya dengan kecemasan dan
harapan! Sesungguhnya
rahmat
Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di
hadapan Allah "nothing
is taken for
granted,"
termasuk perasaan
kita tentang kebaikan dan
kebenaran dalam
hidup
nyata sehari-hari. Artinya, apapun
perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran
yang kita
miliki
harus senantiasa terbuka untuk
dipertanyakan kembali.
Salah satu
konsekuensi itu adalah
"kecemasan." Jika tidak
begitu
maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan
harapan
yang tanpa kecemasan
samasekali adalah sikap kepastian diri
yan
mengarah pada kesombongan. Seseorang
disebut sesat pada
waktu
ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia
menempuh jalan yang keliru.
Keadaan
orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"
tidak akan
sampai kepada tujuan,
meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah,
masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli
pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan
murka dari Allah.
Maka
diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah
jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan
dari Dia, bukan jalan mereka yang
terkena murka,
dan bukan
pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat
pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya
kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah,
guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
Disebutkan
dalam Kitab Suci bahwa shalat
merupakan kewajiban
"berwaktu" atas
kaum beriman. [14]
Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu,
dimulai dari dini
hari (Subuh),
diteruskan
ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu
sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib)
dan akhirnya
di malam
hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah
agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja
(Dhuhur) dan,
lebih-lebih
lagi, saat kita "santai" sesudah
bekerja (dari
Ashar
sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan
dalam diri kita
untuk mencari kebenaran
menjadi
lemah,
mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan.
Karena itulah ada
pesan Ilahi agar
kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu
Ashar,
[15]
dan agar kita mengisi waktu luang untuk
bekerja keras
mendekati
Tuhan.[16]
Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga
mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar
juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai
proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan
metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan
sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam
sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak
secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri
atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]
Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,
yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.
MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)
Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya
sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.
Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat
logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.
Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak
dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi
luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.
Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.
Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan
keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.
Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban
yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.
Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,
pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]
Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama
dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]
Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk
neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain
menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.
CATATAN
1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu
mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).
2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf,
Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.
3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24
5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi
dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).
6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa
perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).
7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.
8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak
dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."
9. QS. al-Hadid 57:4
10. QS. Thaha 20:14.
11. QS. al-Baqarah/2:156.
12. QS. al-A'raf/7:65.
13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah
agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.
14. QS. al-Nisa'/4:103.
15. QS. al-Baqarah/2:238.
16. QS. al-Insyirah/94:7-8.
17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan
dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).
18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.
19. QS. al-Ikhlash/112:4.
20. QS. al-Syura/42:11.
21. QS. al-An'am/6: 102-3.
22. QS. al-Ankabut/29:45.
23. QS. al-Ma'un/107:1-~.
24. QS. al-Ankabut/29:45.
25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.
26. QS. al-Ma'un/107:
27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin
(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.
28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.
Sumber: http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/ShalatN1.html
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/ShalatN2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar