Selamat Datang Di Nuzla Education Center

Sabtu, 21 Januari 2012

Kesadaran Yang Tertidur


Kesadaran Yang Tertidur
Oleh: Nuzlagadanta, S.Sos *)

Perkembangan dalam perpolitikan bangsa kita saat ini sangat mangagumkan. Disatu sisi semakin hari semakin menunjukkan “kemajuan”, dalam kerangka berdemokrasi.
Berdemokrasi mempunyai banyak makna, tergantung pada kacamata yang mamakainya. Mari kita telaah dari “kacamata awam”. Berdemokrasi mempunyai makna yang ternyata sangat mencengangkan. Ber mempunyai makna, saling, demo mempunyai makna, menunjukkan, mempraktekkan; sedangkan kras-i mempunyai makna, kekerasan, egois-kita.
Gejala “kemajuan” dalam berdemokrasi dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari kita, secara langsung ataupun melalui berbagai media yang ada. Melalui media elektronik yang diwakilkan dengan televisi ataupun melalui media cetak dalam bentuk koran yang kita baca.
Di sana banyak bercerita tentang banyaknya dari kita yang masing-masing individu, kelompok ataupun golongan yang saling menunjukkan keegoisan kita. Bahkan, dengan kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian dari segala aspek. Berakibat pada diri kita sendiri baik secara moril ataupun materil, secara langsung ataupun tidak langsung. Tentunya dalam jangka pendek maupun untuk kurun waktu yang cukup lama.
Kita tinggalkan sejenak berdemokrasi dalam “kacamata awam”, dengan melihat berdemokrasi dalam “kacamata intelektual”.
Berdemokrasi menurut mereka mempunyai makna, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian masing-masing dari kita yang “mampu” dan tidak puas akan kinerja partai-partai politik yang sudah ada, berhak untuk membentuk partai politik baru.
Maka terbentuklah puluhan warna-warni partai politik untuk mewarnai “kemajuan” dalam berdemokrasi bangsa kita. Dengan motto “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, bahkan sampai-sampai rakyat sendiri bingung untuk memilih atau mengikuti partai mana yang akan mereka pilih nantinya. Karena memang semua partai tentunya baik, sudah memenuhi kriteria dan syarat untuk lolos kualifikasi, dalam kontes partai mana yang paling cantik, rupawan, cerdas dan pintar, serta pandai merayu-rayu untuk mengambil hati rakyat.
Panggung perpolitikan bangsa kita, dalam meramaikan demokrasi juga tidak terlepas dari individu, kelompok atau golongan yang ber-uang. Mereka membelanjakan harta yang berlimpah dalam suatu partai politik. Supaya pargerakan suatu partai politik dalam menjalankan suatu visi dan misi berjalan dengan lancar. Karena berdemokrasi dalam “kacamata orang ber-uang” mempunyai makna, dari saya, oleh anda dan untung saya lagi.
Sedangkan dalam “kacamata orang miskin”, berdemokrasi itu  mempunyai makna yang sebenarnya bagi mereka sendiri tidak terlalu ingin atau diminati untuk dimaknai yakni, dari rakyat, oleh anda dan ujungnya sama saja. Bagi mereka, selama berulangkali secara aktif ikut serta dalam hajatan bangsa dalam pemilihan pemimpin ataupun wakil-wakil bagi mereka.
Akan tetapi kehidupan mereka masih sama saja dengan lilitan hutang dan tali kemiskinan. Sehingga menimbulkan rasa kemalasan untuk aktif ikut serta lagi dalam perhelatan akbar dalam berdemokrasi, yang biasa kita sebut dengan golput (golongan putih).
Negara saja mempunyai kekayaan alam yang berlimpah ruah, bahkan kayupun dilempar bisa jadi tanaman, mempunyai banyak hutang atas nama rakyat, apalagi kita orang yang miskin. Tidak perlu jauh-jauh kita melihatnya, air bersih misalnya, yang seharusnya menjadi hak pokok bagi hidup orang banyak semakin dikomersilkan dan mahal harganya.
Terkadang kita memang terlalu memaknai segala sesuatu itu hanya secara kulitnya saja. Bahkan acuh terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan isi, yang sebenarnya terkandung didalamnya. Padahal biasanya kalau kita memakan buah, tentu kita akan memakan dengan terlebih dahulu membuka atau membuang kulitnya terlebih dahulu, baru kemudian kita akan memakan isi yang ada dibalik dari suatu sosok yang bernama kulit.
Walaupun kulit buah terkadang kalau kita melihat sepertinya enak untuk dimakan. Buah jeruk misalnya, warna dan bentuk kulitnya akan sangat membuat selera untuk memakannya semakin bertambah. Tapi, coba saja kalau kita makan kulitnya tentunya seketika itu juga kita akan memuntahkannya.
Dalam realitas kehidupan kita terkadang justru sering menikmati segala persoalan kehidupan, yang ternyata itu semua baru kulitnya saja, dan dengan seketika kita akan memuntahkan persoalan kehidupan. Hal tersebut mengakibatkan selera untuk kita mencicipi bahkan merasakan bagaimana rasa isi yang ada didalamnya hilang.
Tetapi karena kita memang sudah terbiasa dengan hal-hal yang biasa bagi kita (rutinitas sehari-hari). Dengan serta merta tidak lagi berminat untuk menjadi lebih baik dalam berbuat hal-hal yang luar biasa bersama isi hikmah yang terkandung dibalik kulit yang tersasa pahit dan bahkan menyakitkan. Apalagi berbuat untuk keluarga, tetangga, masyarakat, bangsa dan tanah air.
Bahkan yang lebih parah lagi, sebenarnya kita tahu dan paham betul kalau kita itu sedang “dijajah” dan diberlakukan semena-mena oleh “penjajah”, akan tetapi justru kita sering terlena dan terbuai bahkan merasa nyaman kalau kita itu “dijajah”.
Lagi-lagi kita jangan hanya mengambil kulitnya saja, dengan mengartikan penjajah sebagai orang, kelompok dan bahkan bangsa yang menyerang. Dengan menggunakan senjata perang yang canggih-canggih, dengan sertamerta menduduki dan menguasai wilayah kita dan menjadikan kita sebagai budak para penjajah tersebut. Tetapi coba kita lihat lebih jauh dan mendalam pada isi hati dan pikiran jernih kita.
Sebenarnya siapakah penjajah yang sesungguhnya dan siapakah yang dijajah dan diberlakukan semena-mena laksana sesosok budak yang tak berdaya?.
Coba kita lihat asumsi dari sosok “orang awam”, dengan memegang teguh keegoisan dan kekerasan. Terbentuk oleh kehidupan sekarang yang memang semakin keras nyaris seperti tinggal di hutan, siapa yang kuat dia jadi raja. Asumsi dari kaum “intelektual”, dengan memegang teguh pada prinsip keilmiahan dan ambisi-ambisi perubahan dengan menggunakan “bahasa tinggi”. Sehingga masyarakat banyak yang tidak mengerti apa yang sedang disampaikan. Asumsi “orang ber-uang”, dengan memegang teguh prinsip dengan uang semuanya dapat kita beli dan pantang dengan kerugian. Dan asumsi “orang miskin”, adalah dengan memegang dengan teguh rasa kepasrahan tanpa usaha dan diiringi dengan lemahnya motivasi untuk berubah yang biasa kita sebut dengan malas. Karena prinsipnya yang penting bisa makan dan hidup, bahkan lebih takut lapar dari pada takut akan mati.
Jadi pada dasarnya secara tidak sadar, kita telah dijajah oleh ketidak puasan, keegoisan, keserakahan, ambisi yang ingin serba cepat, kemewahan, kepasrahan dan rasa malas. Serta masih banyak lagi yang takkan ada habisnya kalau kita sebut satu persatu hal-hal yang menjajah dan menjebak kita.
Kesadaran diri, itulah yang sebenarnya diperlukan bagi kita untuk supaya kita terbebas dari penjajah yang sangat kejam dan tidak pandang bulu. Kapan kita pernah menyisihkan waktu untuk menyadari kalau kita sebenarnya telah terjajah oleh diri kita sendiri?. Karena kita memang terlalu banyak membuang waktu untuk menyalahkan dan dengan enteng menuding keadaan serta sibuk mencari-cari kesalahan orang, kelompok atau golongan lain.
Alangkah sayangnya dan mubazir kalau kita berlarut-larut dalam berdemokrsai tanpa adanya kesadaran pada diri kita masing. Bukankah bangsa kita ini sudah sangat besar mengeluarkan dana untuk membiayai demokrasi di tanah air tercinta sekarang ini.
Kita hidupkan kembali musyawarah untuk mufakat dengan kesadaran kita, yang selama ini “mati”. Karena istilah yang sudah biasa kita pakai dengan istilah one man one vote (satu orang satu suara) tidak buruk tapi terkadang menjebak dan menjadi bumerang bagi kita. Satu suara kita yang berkualitas sama nilainya dengan satu suara kita yang tidak berkualitas. Coba kita bayangkan kalau ternyata suara kita yang tidak berkualitas lebih banyak, akan dibawa kemana tanah air tercinta kita ini oleh kita yang merasa berkualitas padahal tidak.
Sekarang bangsa kita sudah mendekati perhelatan akbar dengan menghabiskan dana rakyat secara besar-besaran. Yakni pemilihan anggota legislatif yang kemudian disusul dengan pemilihan kepala negara secara langsung. Cuacapun pada musim dingin terasa panas terbawa oleh semakin sengitnya “pertempuran-pertempuran politik” dalam memperebutkan “pulau surga”.
Akankah kita yang dipilih atau kita yang akan memilih masih ingin di “jajah” oleh “penjajah” yang sangat kejam dan tidak pandang bulu, serta menginginkan kita hancur lebur, secara cepat atau lambat dengan menggunakan segala cara?. Tentu harus kita katakan TIDAK, pada hati dan pikiran kita yang jernih. Untuk itu kita bangunkan kesadaran kita yang tertidur panjang dan pulas dengan mendengarkan suara-suara kebenaran yang hakiki Yang menguasai lahir bathin kita.

*) Pemerhati  Sosial Kemasyarakatan dan Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar