Kesadaran Yang Tertidur
Oleh:
Nuzlagadanta, S.Sos *)
Perkembangan dalam
perpolitikan bangsa kita saat ini sangat mangagumkan. Disatu sisi semakin hari
semakin menunjukkan “kemajuan”, dalam kerangka berdemokrasi.
Berdemokrasi mempunyai banyak
makna, tergantung pada kacamata yang mamakainya. Mari kita telaah dari
“kacamata awam”. Berdemokrasi mempunyai makna yang ternyata sangat
mencengangkan. Ber mempunyai makna,
saling, demo mempunyai makna,
menunjukkan, mempraktekkan; sedangkan kras-i
mempunyai makna, kekerasan, egois-kita.
Gejala “kemajuan” dalam
berdemokrasi dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari kita,
secara langsung ataupun melalui berbagai media yang ada. Melalui media elektronik
yang diwakilkan dengan televisi ataupun melalui media cetak dalam bentuk koran
yang kita baca.
Di sana banyak bercerita
tentang banyaknya dari kita yang masing-masing individu, kelompok ataupun
golongan yang saling menunjukkan keegoisan kita. Bahkan, dengan kekerasan yang
dapat menimbulkan kerugian dari segala aspek. Berakibat pada diri kita sendiri
baik secara moril ataupun materil, secara langsung ataupun tidak langsung.
Tentunya dalam jangka pendek maupun untuk kurun waktu yang cukup lama.
Kita tinggalkan sejenak
berdemokrasi dalam “kacamata awam”, dengan melihat berdemokrasi dalam “kacamata
intelektual”.
Berdemokrasi menurut mereka mempunyai
makna, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Dengan demikian masing-masing dari kita yang “mampu” dan tidak puas
akan kinerja partai-partai politik yang sudah ada, berhak untuk membentuk
partai politik baru.
Maka terbentuklah puluhan warna-warni
partai politik untuk mewarnai “kemajuan” dalam berdemokrasi bangsa kita. Dengan
motto “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, bahkan sampai-sampai rakyat
sendiri bingung untuk memilih atau mengikuti partai mana yang akan mereka pilih
nantinya. Karena memang semua partai tentunya baik, sudah memenuhi kriteria dan
syarat untuk lolos kualifikasi, dalam kontes partai mana yang paling cantik,
rupawan, cerdas dan pintar, serta pandai merayu-rayu untuk mengambil hati
rakyat.
Panggung perpolitikan bangsa
kita, dalam meramaikan demokrasi juga tidak terlepas dari individu, kelompok
atau golongan yang ber-uang. Mereka membelanjakan harta yang berlimpah dalam
suatu partai politik. Supaya pargerakan suatu partai politik dalam menjalankan
suatu visi dan misi berjalan dengan lancar. Karena berdemokrasi dalam “kacamata
orang ber-uang” mempunyai makna, dari saya, oleh anda dan untung saya lagi.
Sedangkan dalam “kacamata
orang miskin”, berdemokrasi itu
mempunyai makna yang sebenarnya bagi mereka sendiri tidak terlalu ingin
atau diminati untuk dimaknai yakni, dari rakyat, oleh anda dan ujungnya sama
saja. Bagi mereka, selama berulangkali secara aktif ikut serta dalam hajatan
bangsa dalam pemilihan pemimpin ataupun wakil-wakil bagi mereka.
Akan tetapi kehidupan mereka
masih sama saja dengan lilitan hutang dan tali kemiskinan. Sehingga menimbulkan
rasa kemalasan untuk aktif ikut serta lagi dalam perhelatan akbar dalam
berdemokrasi, yang biasa kita sebut dengan golput (golongan putih).
Negara saja mempunyai kekayaan
alam yang berlimpah ruah, bahkan kayupun dilempar bisa jadi tanaman, mempunyai
banyak hutang atas nama rakyat, apalagi kita orang yang miskin. Tidak perlu
jauh-jauh kita melihatnya, air bersih misalnya, yang seharusnya menjadi hak
pokok bagi hidup orang banyak semakin dikomersilkan dan mahal harganya.
Terkadang kita memang terlalu
memaknai segala sesuatu itu hanya secara kulitnya saja. Bahkan acuh terhadap
hal-hal yang bersangkutan dengan isi, yang sebenarnya terkandung didalamnya. Padahal
biasanya kalau kita memakan buah, tentu kita akan memakan dengan terlebih
dahulu membuka atau membuang kulitnya terlebih dahulu, baru kemudian kita akan
memakan isi yang ada dibalik dari suatu sosok yang bernama kulit.
Walaupun kulit buah terkadang
kalau kita melihat sepertinya enak untuk dimakan. Buah jeruk misalnya, warna
dan bentuk kulitnya akan sangat membuat selera untuk memakannya semakin
bertambah. Tapi, coba saja kalau kita makan kulitnya tentunya seketika itu juga
kita akan memuntahkannya.
Dalam realitas kehidupan kita terkadang
justru sering menikmati segala persoalan kehidupan, yang ternyata itu semua
baru kulitnya saja, dan dengan seketika kita akan memuntahkan persoalan
kehidupan. Hal tersebut mengakibatkan selera untuk kita mencicipi bahkan
merasakan bagaimana rasa isi yang ada didalamnya hilang.
Tetapi karena kita memang
sudah terbiasa dengan hal-hal yang biasa bagi kita (rutinitas sehari-hari). Dengan
serta merta tidak lagi berminat untuk menjadi lebih baik dalam berbuat hal-hal
yang luar biasa bersama isi hikmah yang terkandung dibalik kulit yang tersasa
pahit dan bahkan menyakitkan. Apalagi berbuat untuk keluarga, tetangga,
masyarakat, bangsa dan tanah air.
Bahkan yang lebih parah lagi,
sebenarnya kita tahu dan paham betul kalau kita itu sedang “dijajah” dan
diberlakukan semena-mena oleh “penjajah”, akan tetapi justru kita sering
terlena dan terbuai bahkan merasa nyaman kalau kita itu “dijajah”.
Lagi-lagi kita jangan hanya
mengambil kulitnya saja, dengan mengartikan penjajah sebagai orang, kelompok
dan bahkan bangsa yang menyerang. Dengan menggunakan senjata perang yang
canggih-canggih, dengan sertamerta menduduki dan menguasai wilayah kita dan
menjadikan kita sebagai budak para penjajah tersebut. Tetapi coba kita lihat
lebih jauh dan mendalam pada isi hati dan pikiran jernih kita.
Sebenarnya siapakah penjajah
yang sesungguhnya dan siapakah yang dijajah dan diberlakukan semena-mena
laksana sesosok budak yang tak berdaya?.
Coba kita lihat asumsi dari
sosok “orang awam”, dengan memegang teguh keegoisan dan kekerasan. Terbentuk
oleh kehidupan sekarang yang memang semakin keras nyaris seperti tinggal di
hutan, siapa yang kuat dia jadi raja. Asumsi dari kaum “intelektual”, dengan
memegang teguh pada prinsip keilmiahan dan ambisi-ambisi perubahan dengan
menggunakan “bahasa tinggi”. Sehingga masyarakat banyak yang tidak mengerti apa
yang sedang disampaikan. Asumsi “orang ber-uang”, dengan memegang teguh prinsip
dengan uang semuanya dapat kita beli dan pantang dengan kerugian. Dan asumsi
“orang miskin”, adalah dengan memegang dengan teguh rasa kepasrahan tanpa usaha
dan diiringi dengan lemahnya motivasi untuk berubah yang biasa kita sebut
dengan malas. Karena prinsipnya yang penting bisa makan dan hidup, bahkan lebih
takut lapar dari pada takut akan mati.
Jadi pada dasarnya secara
tidak sadar, kita telah dijajah oleh ketidak puasan, keegoisan, keserakahan, ambisi
yang ingin serba cepat, kemewahan, kepasrahan dan rasa malas. Serta masih banyak
lagi yang takkan ada habisnya kalau kita sebut satu persatu hal-hal yang
menjajah dan menjebak kita.
Kesadaran diri, itulah yang
sebenarnya diperlukan bagi kita untuk supaya kita terbebas dari penjajah yang
sangat kejam dan tidak pandang bulu. Kapan kita pernah menyisihkan waktu untuk
menyadari kalau kita sebenarnya telah terjajah oleh diri kita sendiri?. Karena
kita memang terlalu banyak membuang waktu untuk menyalahkan dan dengan enteng
menuding keadaan serta sibuk mencari-cari kesalahan orang, kelompok atau
golongan lain.
Alangkah sayangnya dan mubazir
kalau kita berlarut-larut dalam berdemokrsai tanpa adanya kesadaran pada diri
kita masing. Bukankah bangsa kita ini sudah sangat besar mengeluarkan dana
untuk membiayai demokrasi di tanah air tercinta sekarang ini.
Kita hidupkan kembali musyawarah
untuk mufakat dengan kesadaran kita, yang selama ini “mati”. Karena istilah
yang sudah biasa kita pakai dengan istilah one
man one vote (satu orang satu suara) tidak buruk tapi terkadang menjebak
dan menjadi bumerang bagi kita. Satu suara kita yang berkualitas sama nilainya
dengan satu suara kita yang tidak berkualitas. Coba kita bayangkan kalau
ternyata suara kita yang tidak berkualitas lebih banyak, akan dibawa kemana
tanah air tercinta kita ini oleh kita yang merasa berkualitas padahal tidak.
Sekarang bangsa kita sudah
mendekati perhelatan akbar dengan menghabiskan dana rakyat secara besar-besaran.
Yakni pemilihan anggota legislatif yang kemudian disusul dengan pemilihan
kepala negara secara langsung. Cuacapun pada musim dingin terasa panas terbawa
oleh semakin sengitnya “pertempuran-pertempuran politik” dalam memperebutkan
“pulau surga”.
Akankah kita yang dipilih atau
kita yang akan memilih masih ingin di “jajah” oleh “penjajah” yang sangat kejam
dan tidak pandang bulu, serta menginginkan kita hancur lebur, secara cepat atau
lambat dengan menggunakan segala cara?. Tentu harus kita katakan TIDAK, pada
hati dan pikiran kita yang jernih. Untuk itu kita bangunkan kesadaran kita yang
tertidur panjang dan pulas dengan mendengarkan suara-suara kebenaran yang
hakiki Yang menguasai lahir bathin kita.
*) Pemerhati Sosial Kemasyarakatan dan
Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar